Minggu, 02 Maret 2014

Welas asih agung dasar dari semua kesempurnaan




( Maha Karuna dasar dari semua Parami )


mengembangkan perasaan welas asih yang tidak terbatas
kepada semua makhluk, dekat atau jauh,

seolah-olah mereka adalah anaknya sendiri. 


Tidak membeda-bedakan teman ataupun musuh, 
ia harus menganggap semua makhluk mengalami penderitaan dalam samsàra 
di mana mereka terbakar oleh api kemelekatan, kebencian, dan keraguan, 
oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, kesakitan, kesusahan, 
dan keputus-asaan. 

Dengan merenungkan hal-hal ini, 
ia harus mengembangkan welas asih yang besar terhadap mereka.

Welas asih ini haruslah sangat besar 
sehingga memungkinkannya untuk menolong semua makhluk dari samsàra meskipun dengan mengorbankan dirinya sendiri. 

Welas asih seperti inilah yang disebut welas asih yang luar biasa
yang membentuk dasar dari semua Kesempurnaan.

dipaparkan oleh : Mingun Sayadaw

Minggu, 02 Februari 2014

Tujuan Kehidupan Suci




Para bhikkhu, jika para pengembara dari sekte lain bertanya kepada kalian:
‘Untuk tujuan apakah, Sahabat-sahabat, kehidupan suci dijalani dibawah Petapa Gotama?’

Ditanya demikian,kalian harus menjawab para petapa itu sebagai berikut:

Adalah, Sahabat-sahabat,
untuk memahami sepenuhnya penderitaan
maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagava.
( Samyutta Nikaya – Salayatana vagga )



Adalah, Sahabat-sahabat,
demi meluruhnya nafsu
maka kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagava.’
( Samyutta Nikaya – Magga Samyutta )


‘Adalah, Sahabat-sahabat,
untuk meninggalkan belenggu belenggu…
untuk mencabut kecenderungan-kecenderungan tersembunyi…
untuk pemahaman sepenuhnya perjalanan…
untuk kehancuran noda-noda …
untuk mencapai buah dan pengetahuan sejati dan kebebasan …
demi pengetahuan dan penglihatan … [29] …
demi Nibbana akhir tanpa kemelekatan
maka kehidupan suci ini dijalankan di bawah Sang Bhagava.’
( Samyutta Nikaya – Magga Samyutta )




 “Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian:
‘Tetapi, Sahabat-sahabat, adakah jalan, adakah cara untuk mencapai Nibbana akhir tanpa kemelekatan?’ 

ditanya demikian, kalian harus menjawab:

‘Ada jalan, Sahabat-sahabat,
Ada cara Untuk mencapai Nibbana akhir tanpa kemelekatan.’

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan itu, apakah cara untuk mencapai
Nibbana akhir tanpa kemelekatan?

Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini;
yaitu: pandangan benar …
konsentrasi benar.
Ini adalah jalan,
Ini adalah cara untuk mencapai Nibbana akhir tanpa kemelekatan.


Dan apakah, para bhikkhu, kehidupan suci itu?
Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan;
yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
Ini disebut kehidupan suci.



Dan apakah, para bhikkhu, tujuan kehidupan suci?
Hancurnya nafsu, hancurnya kebencian, hancurnya kebodohan.
Ini disebut tujuan kehidupan suci.”
( Samyutta Nikaya – Magga Samyutta )




Rabu, 22 Januari 2014

Tuntunan Kehidupan Samana

Tuntunan ini bersumber dari dua Sutta dalam Digha Nikaya ,
Brahmajala Sutta dan Samanaphala Sutta.




Tathàgata telah muncul di dunia ini,
Seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna,
memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna,
telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam,
penjinak manusia yang harus dijinakkan
yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia,
Tercerahkan dan Terberkahi.



Setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri,



membabarkan Dhamma,
yang indah di awal, indah di pertengahan,
indah di akhir, dalam makna dan kata,
dan menunjukkan kehidupan suci
yang murni dan sempurna.’







Dhamma ini didengar oleh
seorang perumah tangga atau putra perumah tangga,
atau seorang yang terlahir dalam suatu keluarga
atau lainnya.

Setelah mendengar Dhamma ini,
ia mendapatkan keyakinan dalam Sang Tathàgata.

Setelah mendapatkan keyakinan,
ia merenungkan:







“Kehidupan rumah tangga adalah tertutup dan kotor,
kehidupan tanpa rumah adalah bebas bagaikan udara.

Tidaklah mudah, menjalani kehidupan rumah tangga,
untuk hidup suci yang sempurna, murni dan mengkilap bagaikan kulit kerang.




Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku,
Mengenakan jubah kuning
dan pergi dari kehidupan rumah tangga
untuk menjalani kehidupan tanpa rumah!”

dan setelah beberapa waktu,
ia meninggalkan hartanya, kecil atau besar,
meninggalkan sanak saudaranya, kecil atau besar,
mencukur rambut dan janggutnya,
mengenakan jubah kuning
dan pergi menjalani kehidupan tanpa rumah.’


Dan setelah pergi,

ia berdiam terkendali oleh pengendalian aturan-aturan, 
berperilaku benar,

melihat bahaya dalam kesalahan yang paling kecil,

melaksanakan komitmen yang telah ia ambil sehubungan dengan
jasmani, ucapan, dan pikiran,

bersungguh sungguh dalam kehidupan murni


dan terampil,sempurna dalam  moralitas,
dengan pintu-pintu indria terjaga,
terampil dalam kesadaran
dan merasa puas.’


Dan bagaimanakah,  seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas?
[Bagian singkat tentang Moralitas]


Menghindari pembunuhan,
tanpa tongkat atau pedang,
cermat, penuh belas kasih,
bergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup.”


Menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, 
hidup murni,  menerima apa yang diberikan,
menunggu apa yang diberikan,
tanpa mencuri.

Menghindari ketidaksucian, 
jauh dari praktik kehidupan sosial hubungan seksual.

 Menghindari ucapan salah, 
seorang pembicara kebenaran,
Seorang yang dapat diandalkan,
dapat dipercaya,  dapat dijadikan tempat bergantung,
bukan seorang penipu dunia.



Menghindari fitnah,
tidak mengulangi di sana
apa yang di dengarkan di sini
untuk merugikan orang-orang ini,

atau mengulangi di sini
apa yang  di dengarkan di sana
untuk merugikan orang orang itu.

penengah bagi mereka yang bersengketa
dan pendorong bagi mereka yang rukun,
bahagia dalam kedamaian,
menyukainya, gembira di dalamnya,
berbicara demi kedamaian.

Menghindari ucapan kasar,
mengatakan apa yang tanpa cela,
indah di telinga, menyenangkan, menyentuh hati,
sopan, indah, dan menarik bagi banyak orang.

Menghindari gosip,
berbicara di saat yang tepat, apa yang benar
dan langsung pada pokok persoalan,
 tentang Dhamma dan disiplin.


menjauhi dari merusak benih dan hasil panen.
makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam,
menjauhi makan pada waktu yang salah.

 menghindari menonton tari-tarian, nyanyian,
musik, dan pertunjukan.

menghindari memakai karangan bunga, pengharum,
kosmetik, dan perhiasan.

Menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi atau lebar.

menghindari menerima emas dan perak.


Menghindari menerima beras mentah atau daging mentah,

tidak menerima perempuan atau gadis muda,
budak laki-laki atau perempuan,
domba dan kambing, ayam dan babi,
gajah, sapi, kuda jantan dan betina,
ladang dan bidang tanah;


 menghindari menjadi kurir,
membeli dan menjual,
menipu dengan timbangan dan takaran yang salah,
dari menyuap dan korupsi,
dari penipuan dan kemunafikan,
dari melukai, membunuh, memenjarakan,

perampok jalanan, dan mengambil makanan dengan paksa

Rabu, 01 Juni 2011

Cobaan atau kebodohan ?

Sering ketika kita mengalami hal-hal buruk, dan tidak menyenangkan , kita menganggapnya sebagai cobaan .Karena kita tidak memahami bahwa semua yang kita alami memiliki sebab, kita menganggap kejadian yang tidak cocok dengan harapan kita, adalah suatu cobaan .

Mulai dari suatu kecelakaan fatal, atau mendapat penyakit yang mematikan, rusaknya hubungan dengan pasangan , hancurnya usaha , masalah dalam pekerjaan, hingga sakit perut sebab salah makan, kita kadang menganggapnya sebagai cobaan …

Kita lupa, bahwa semua kejadian muncul karena sebab, kita lupa untuk hanya memilih sebab sebab yang baik, yang hanya akan mengakibatkan kebahagiaan dalam hidup kita…

Kita sering tidak peduli akan sebab, tetapi selalu mengeluh akan akibat yang terjadi…
Kita selalu berdoa meminta diberikan kebahagiaan, tapi kita lupa untuk membuat sebab kebahagiaan…

Seperti seorang pemilik kebun yang mendambakan panen buah mangga dari kebunnya, tapi tidak memiliki pohon mangga dan tidak pernah menanam pohon mangga …

Meski dikebunnya terdapat beraneka pohon, tapi harapannya untuk panen pohon mangga … tidak pernah jadi kenyataan...



dia mulai mengeluh dalam doanya, dia mulai mengeluh doanya tidak pernah didengar… bahkan dia mulai mengeluh kenapa selalu memanen buah –buah lain, bukan buah mangga seperti yang dia harapkan …

Pemilik kebun ini lupa untuk mawas diri, lupa untuk melihat kedalam… lupa untuk membuat sebab… seperti juga kita… yang sering lupa tentang sebab dan mengeluh akan akibat-akibatnya…

Ketika kita mulai sadar… bahwa segala sesuatu muncul karena sebab… kita tidak lagi meminta-minta dalam doa… tidak lagi memimpikan berkah yang datang tiba tiba…dan tidak lagi mengeluh akan buah yang muncul,


Kita sadar semua berkah dan keberuntungan muncul karena sebab…
Semua kemalangan dan penderitaan juga muncul karena sebab…

Ketika kita mengerti akan sebab dan akibat…

Para Buddha dan Bodhisatwa, bukan lagi tempat meminta berkah dan keberuntungan.
Tapi sebagai sumber inspirasi teladan perbuatan baik yang menjadi sebab kebahagiaan.

Seperti ketika Buddha ditanya apakah keberuntungan atau berkah utama itu?

Buddha tidak bicara tentang akibatnya, Buddha tidak berbicara tentang nirwana, Buddha tidak berbicara tentang kebahagiaan surgawi, Buddha tidak bicara tentang kebahagiaan duniawi…

Tetapi Buddha menjawab dengan panduan perbuatan-perbuatan yang merupakan sebab bagi semua kebahagiaan ini… baik kebahagiaan saat ini, maupun kebahagiaan setelah kehidupan ini…. yang terangkai dalam Maha Manggala Sutta (Kotbah tentang berkah utama).

Bhiksu Buddha menghina Buddha

Seorang bhiksu mengatakan kepada temannya,
“bila saya mengucapkan kata Buddha, saya akan mencuci mulut saya tiga hari”


Di tempat lain… seorang Bhiksu mengatakan…
“ Bila saya bertemu Buddha di jalan… saya akan membunuhnya !”

Dipengungsian…
Seorang Bhiksu Tibet, yang sangat dihormati dan taat kepada ajaran Buddha suatu hari bercerita pada sekelompok penduduk desa…

Di daerah asalnya ada biara dengan patung Buddha besar kuno dan bersejarah…


dengan mimik muka serius Bhiksu ini memberitahukan pada saat tentara komunis china sampai ke biara itu… tentara komunis mengambil patung Buddha besar itu… kemudian tentara komunis membawanya sampai ke sebuah danau…

tentara komunis membuang patung Buddha ini ke dalam danau… patung Buddha besar ini tenggelam dan mengenai batu besar… dan kemudian patung Buddha besar ini terbelah hancur di dasar danau…

Mendengar berita ini … penduduk desa tersebut terdiam… dalam suasana diam bhiksu Tibet ini tertawa dengan riang dan sangat bahagia… karena tentara komunis telah menghancurkan patung Buddha besar tersebut …



Di China …

Pada suatu malam seorang Bhiksu pengembara menginap di suatu vihara… pada saat cuaca dingin bersalju…



bhiksu pengembara ini membakar satu patung Buddha di vihara tersebut untuk menghangatkan badan…

Ketika Bhiksu penghuni vihara tersebut melihat bhiksu pengembara ini membakar patung Buddha …

Bhiksu tersebut memarahi bhiksu pengembara ini yang telah kurang ajar sekali membakar patung Buddha…

Dalam keadaan di caci maki… bhiksu pengembara ini mengorek ngorek abu patung Buddha tersebut…

Dengan keheranan bhiksu yang mencaci maki bertanya "apa yang sedang anda lakukan !”

Bhiksu pengembara menjawab “saya sedang mencari relic suci sisa dari pembakaran “
Bhiksu penghuni vihara ini menjawab “ bagaimana mungkin anda bisa menemukan relic suci , itu hanya sebuah patung kayu”

Bhiksu pengembara kemudian menjawab “ kalau begitu bolehkah saya membakar dua patung lagi, untuk menghangatkan badan ? “




Esensi dari Spiritualitas agama ( Buddha ) adalah membebaskan batin kita dari akar akar kemarahan… kebencian… keserakahan… dan khayalan.

Tetapi tanpa kita sadari terkadang agama ( Buddha ) yang seharusnya membebaskan kita dari akar kemarahan dan akar kebencian… telah berubah menjadi sebab kemarahan dan kebencian baru…

Ketika kita merasa agama ( Buddha ) ku di hina, agama ( Buddha ) ku dilecehkan… agama ( Buddha ) ku di hujat… timbul kebencian… kemarahan… jengkel… dendam… di hati kita…kepada orang lain…

dan hal ini berlawanan dengan tujuan agama ( Buddha ) untuk membebaskan hati kita dari akar akar kemarahan… dan kebencian…


Apa yang dilakukan Bhiksu bhiksu dalam kejadian diatas…
Bertujuan mengingatkan sekelilingnya… bahwa dalam perjalanan spiritual… jangan sampai kita terjebak dalam belenggu agama ( Buddha )…
Agama yang bertujuan membebaskan kita dari belenggu kemarahan dan kebencian… berubah menjadi agama yang menyebabkan munculnya kemarahan dan kebencian di hati kita pada sesama manusia …

Agama yang bertujuan memunculkan benih benih kasih di hati kita… berubah menjadi agama yang menjadi sumber munculnya benih benih kebencian… kemarahan… dendam… dan permusuhan di hati kita…